Perempuan di Akhir Zaman

Harga Diri Istri Akhir Zaman

CAHYALOKA.COM – Lita, seorang ibu rumah tangga muslimah yang sudah memiliki suami dan dua orang putra kecil, baru saja pulang dari acara kumpul-kumpul reuni sma. Tak tertahankan betapa bahagianya ia dapat bersua dengan sahabat lamanya, dan juga beberapa “mantan pacar” yang telah sekian tahun menghilang. Sekembalinya dari acara itu yang telah melewati waktu Isya, Lita pulang diantar oleh teman prianya yang dahulu pernah menjadi pacarnya semasa SMA. Mereka saling bercerita kisah masa lalu yang begitu manis dan menyenangkan. Sang mantan pun tak ayal menggodanya, dengan godaan-godaan romantis gombal seperti dulu. Lita tersenyum malu mendengarnya. Bagaikan ada yang menyirami manis hatinya dengan segelas sirup dingin. Dirumahnya yang sejuk, menunggu anak-anak dan suami tercintanya. Dan si teman pria masa lalunya berpamitan pada Lita di ujung gang rumah Lita.

Sekar belum lama merasakan jadi istri, tapi ia harus berpisah dengan suaminya, karena sang suami melanjutkan sekolah masternya di luar negri. Sementara untuk ikut dengan suaminya Sekar akan berpikir dua kali, karena karir yang dibangunnya jauh sebelum menikah akan hancur jika ia memutuskan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Komunikasi yang terjalin antara sekar dan suaminya bukanlah sebuah masalah, mengingat kemajuan teknologi yang memudahkan keduanya untuk berkomunikasi kapan saja. Tapi siapa yang tak mau jika ada sahabat pria lama yang menaruh hati padanya kerap menghubunginya, memberi perhatian kecil, dan mengajaknya makan bersama untuk sekedar ngobrol. Obrolan yang tidak begitu penting memang. Tapi sanggup menyemangati Sekar untuk tetap bertahan meski jauh dari sang suami. Dan sekar mulai menyukai curhat dengan teman lama tersebut yang dulu tak pernah diliriknya sama sekali.

Di sudut belahan bumi lain, Fatimah, lulusan cumlaude sarjana Science di sebuah perguruan tinggi negeri terbaik. Belum lulus pun sudah waiting list pihak yang mengajaknya untuk bekerja sama. Ketika Fatimah ingin memulai karirnya, takdir membawanya menjadi seorang istri pada waktu yang tak pernah ia duga. Ia tinggalkan semua pihak yang mengajaknya bekerja sama. Ia memilih berkhidmat pada suami dan keluarga kecilnya. Ketika setiap teman semasa kuliahnya menyayangkan keputusannya untuk melepas kesempatan berkarir yang baik, Fatimah tak ragu memilih membenahi dirinya agar dapat menjadi istri dan ibu yang baik saja, meski gaji dan jenjang aktualisasi diri yang memadai berada di depan matanya.

Begitu pun Khansa, seorang Muslimah yang terpaksa harus menafkahi anak-anaknya tanpa suami disisinya. Bukan karena sang suami pergi ke luar kota, melainkan sang suami telah menghilang secara misterius akibat “suara”nya yang vokal mengkritisi penguasa lalim di negerinya. Paras ayunya yang penuh kesederhanaan dan kebijakan, tidak sedikit membuat beberapa laki-laki lain mencoba mendekatinya bahkan melamarnya. Sudah satu setengah tahun memang ia ditinggalkan suaminya dalam keadaan yang tidak pernah ia ketahui. Tapi ia tak ingin menodai kesetiaannya, dengan menutup serapat mungkin aksesnya kepada sejumlah laki-laki lain yang sudah siap menggantikan posisi suaminya kapan saja ia mau.

Dengan kondisi zaman yang telah mendekati akhir ini, terkadang tidaklah mudah untuk bertahan menjaga harga diri sebagai seorang istri. Perbedaan antara halal dan haram begitu tipis dan terkadang di putar balikkan untuk disesuaikan dengan kondisi zaman. Begitu banyak yang menyatakan dirinya seorang muslimah, tapi tak sedikit pula yang meninggalkan kemuliaan kemuslimahan mereka dengan memilih untuk menjadi anak zamannya.

Ketika seorang istri sudah tidak lagi malu berpergian dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Ketika seorang istri sudah menikmati mencurahkan isi hatinya bukan pada sang suami, dan juga menikmati mendengarkan curahan isi hati laki-laki selain suaminya, dimanakah harga diri istri muslimah yang mulia? Zaman akan membenarkan karena “toh”, semuanya adalah hal yang wajar-wajar saja selama tak ada kontak fisik badaniah antara sang istri dan lelaki lain tersebut. Tapi kemudian, apakah masih terasa spesial ketika kita berpergian, mencurahkan isi hati dan mendengar curahan isi hati suami jika kita juga melakukan hal yang sama pada laki-laki lain? Lalu apa ada beda antara suami dan laki-laki lain jika kita memenuhi hak keduanya dengan cara yang tidak berbeda? Tidakkah ada rasa gelisah dan cemas ketika kita memberikan hak suami kita untuk menemani kita berpergian, dan hak mendengarkan seluruh perasaan kita pada laki-laki lain yang mungkin juga di luar sana telah memiliki istri.

Harga diri #perempuan muslimah adalah kemuliaan terbaik yang dianugerahkan Allah SWT padanya. Jika kita merasa bahwa kita adalah seorang wanita yang meyakini jalan keselamatan (baca: Islam), apakah sebuah kemunduran jika kita berlaku seperti halnya fitrah yang sudah Allah berikan pada kita sebagai wanita muslimah? Izzah (harga diri) wanita muslimah yang terpeliharalah yang mampu menjadi bahan bakar bagi tumbuhnya generasi yang kuat dan tangguh. Generasi yang akan memimpin peradaban terbaik yang pernah ada hingga akhir zaman.

Hendaknya, beberapa kisah diatas dapat memberikan hikmah bagi kita. Jika kita merasa memiliki izzah sebagai seorang istri dan wanita muslimah, tunaikan fitrah izzah tersebut sesegera mungkin sebelum ia mendatangkan bencana bagi kita. Wallahu’alam. [Kak Galuh]

Lihat Juga

tantrum

Dewasa Kok Tantrum?

Jika anak-anak cenderung tantrum dikarenakan keinginannya yang tidak terpenuhi, maka sedikit berbeda dengan orang dewasa, dimana orang dewasa cenderung mengalami tantrum dikarenakan ketidakmampuan mengatasi ketegangan atau emosi negatif yang dihadapinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *